Besarnya kemiskinan dapat diukur
dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Kosep yang mengacu kepada
garis kemiskinan disebut kemiskinan relative,sedangkan konsep yang mengukur
tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute. Kemiskinan
relatif adalah suatu ukran mengenai kesenjangan di dalam Distribusi yang
dimaksud. Dinegara-negara
maju(NM),kemiskinana relatif diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan
rata-rata per kapita. Sebagai suatu ukuran relatif,kemiskinan relative dapat
berbeda menurut negara atau periode di
dalam suatu negara. Kemiskinan absolut
adalah derajat dari kemiskinan di bawah mana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk
bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap(tidak
berubah)di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah
komponen-komponen non-makanan yang
sangat diperlukan untuk bertahan hidup.
Ketimpangan yang besar dalam distribusi
pendapatan (kesenjangan ekonomi) dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah
besar di banyak Negara Berkembang,tidak terkecuali Indonesia. Dikatakan
besar,jika dua masalah ini berlarut-larut dan dibiarkan semakin parah,pada
akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan social yang sangat serius
Data tahun 1970-an dan 1980-an
mengenai prtumbuhan ekonomi dan Distribusi pendapatan dibanyak Negara
Berkembang,terutama negara- negara yang
proses pembangunan ekonominya sangat pesat dan dengan laju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi ,seperti Indonesia,menunjukan seakan-akan korelasi positif antara
laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam Distribusi pendapatan
:semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita,semakin
besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya.
Namun, hasil studi dari
Ahluwalia(1976) mengenai relasi antara Distribusi pendapatan dan proses
pembangunan berdasarkan data dari 60 negara menunjukan bahwa suatu laju
pertumbuhan yang tinggi tidak selalu harus mengakibatkan kepincangan dalam
distribusi pendapatan bertambah besar
pada suatu tingkat pembangunan tertentu yang telah dicapai. Sebagai suatu
perbandingan,hasil studi dari ADB di tahun 1980-an terhadap 10 negara di
Asia,termasuk India,Republik China,Malaysia,Bangladesh,Republik Korea,Sri
Langka dan Filipina,memperlihatkan bahwa kesejahteraan dari kelompok masyarakat
termiskinan membaik hanya dinegara-negara yang laju pertumbuhan ekonominya
sangat besar. Hasil studi ini memberi kesan bahwa memang ada efek ‘cucuran ke
bawah’ dinegara-negara tersebut. Tetapi,hasil analisis ini dengan pendekatan
lintas negara (cross-section) tidak
menunjukan adanya suatu relasi yang kuat antara tingkat pendapatan dan ketidak
merataan dalam distribusi pendapatan.
Misalnya, Jantti (1997) di dalam
studinya membuat suatu kesimpulan bahwa semakin membesarnya ketimpangan dalam
distribusi pendapatan dinegara-negara tersebut disebabkan oleh
pergesaran-pergesaran demografi,perubahan pasar buruh dan perubahan
kebijakan-kebijakan public. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya
kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya saham
pendapatan dari istri di dalam total pendapatan keluarga merupakan dua factor
penyebab penting.
Dasar teori dari korelasi antara
pertumbuhan pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan
kasus pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan.
Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal dari proses pembangunan,tingkat
kemiskinan cenderung meningkat,dan pada saat mendekati tahap akhir dari
pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Tentu,seperti talah
dikatakan sebelumnya,banyak faktor-faktor lain selain pertumbuhan pendapatan
yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah /Negara seperti derjat
pendidikan,tenaga kerja,dan struktur ekonomi.
Ada suatu korelasi negatif
antara tingkat pendapatan dan kemiskinan :semakin tinggi tingkat pendapatan per
kapita,maka semakin rendah tingkat kemiskinan ;atau dengan kata lain,negara –negara dengan tingkat
pendapatan negara per kapita yang lebih tinggi cenderung mempunyai tingkat
kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan negara-negara yang tingkat pendapatan
negara per kapitanya rendah. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa
elastisitas pertumbuhan pendapatan dari kemiskinan untuk Asia Timur adalah yang
tertinggi,disusul kemudian oleh Amerika Latin,Asia Selatan dan Afrika.
Contohnya, pada pertumbuhan
output disektor industry pengolahan mempunyai suatu dampak positif yang besar
terhadap penurunan kemiskinan dan hanya terbukti di Asia Timur. Pertumbuhan
output industiri 1 persen mengurangi kemiskinan 1,3 persen.
Sebaliknya,prtumbuhan output industry di Amerika Latin dan Karibian berkorelasi
positif dengan kemiskinan: semakin besar output disektor tersebut semakin
banyak orang miskin;walaupun efek ini secara statistic tidak signifikan. Sama
seperti di Asia Timur pertumbuhan output industi di Asia Selatan dan Afrika
Sub-Sahara juga mempunyai efek positif terhadap penurunan kemiskinan,tetapi
efeknya tidak signifikan. Penggerak utama dari penurunan kemiskinan di Asia
Selatan dan Afrika Sub-Sahara adalah pertumbuhan output disektor pertanian.
Dalam akhir 1990-an ,term
‘pertumbuhan yang pro-kemiskinan’(sebut PPG) ini menjadi terkenal saat banyak
ekonomi mulai menganalisis paket-paket kebijakan yanga dapat mencapai penurunan
kemiskinan yang lebih cepat lewat pertumbuhan ekonomi dan perubahan Distribusi
pendapatan. PPG secara umum didefinikasi sebagai pertumbuhan ekonomi yang membuat
penurunan kemiskinan secara signifikan. Dalam usaha memberikan relevansi
analisis dan operasional terhadap konsep tersebut,di dalam literature muncul
dua pendekatan. Pendekatan pertama memfokuskan pada keyakinan bahwa orang-orang
miskin pasti mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi walaupun tidak
proposional. Artinya, pertumbuhan ekonomi memihak kepada orang miskin jika
dibarengin dengan suatu pengurangan kesenjangan;atau dengan kata lain,pangsa
pendapatan dari kelompok miskin meningkatan bersamaan dengan pertumbuhan
ekonomi. Pendekatan ini disebut juga definisi relatif dari PPG.
Selama periode 2005-2006,jumlah
orang miskin di Indonesia tercatat bertambah sebanyak 4,2 juta orang. Baru
setelah beberapa penyesuain kebijakan dan stabilisasi ekonomi makro,tingkat
kemiskinan mulai menurun lagi sejak tahun 2007. Dalam bentuk relatif,tingkat
kemiskinan pada tahun 2007 sama seperti sebelum krisis 1997-1998 terjadi. Namun
demikian,dalam bentuk absolut,jumlah orang yang berpengeluaran rata-rata per hari
di bawah garis kemiskinan yang berlaku tetap lebih tinggi dibandingkan pada era
Orde Baru sebelum krisi 1997-1998. Waluapun perbedaan antarawilayah bervariasi
menurut tahun,tingkat kemiskinan di daerah perkotaan juga selalu lebih kecil
dibandingkan di daerah perdesaan dan terus berlangsung pada tahun-tahun
berikutnya. Berdasarkan data terakhir,pada bulan Maret 2010,persentase penduduk
yang hidup dibawah garis kemiskinan yang berlaku pada tingkat nasional adalah
sekitar 13 persen.
Selain tingkat kemiskinan,ada
dua hal yang jugaa harus diperhatikan dalam membahas soal kemiskinan dan
keparahan kemiskinan. Kedalaman kemiskinan menunjukan rata-rata kesenjangan
pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin,sedangkan keparahan
kemiskinan menujukan ketimpangan pengeluaran dari penduduk paling miskin,atau
yang makin jatuh di bawah garis kemiskinan yang berlaku. Semakin besar nilai
kedua indeks ini di sebuah negara
mencerminkan semakin seriusnya persoalan kemiskinan dinegara tersebut.
Dari sisi lain,dapat disimpulkan bahwa kondisi kemiskinan di desa masih lebih
buruk dibandingkan di kota. Sedangkan secara umum,penurunan dari kedua indeks
tersebut di kota maupun di desa mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran
penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan
pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.
Dan biasanya kelompok masyarakat
yang sangat rentan terhadap kemiskinan adalah para pekerja pabrik dan rumah
tangga yang beberapa tahun belakangan ini kondisi ekonomi mereka membaik akibat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan yang menciptakan kesempatan
kerja lebih besar dan lebih baik (dari sisi pendapatan),namun mereka berada
persis diatas garis kemiskinan yang berlaku. Kondisi seperti ini membuat mereka
sangat terancam kembali menjadi miskin apabila ada sebuah krisis ekonomi
seperti pada tahun 2008-2009. Kelompok pekerja yang masuk di dalam kategori ini
adalah pekerja-pekerja tidak berpendidikan tinggi seperti pekerja-pekerja
kontrak atau borongan di industri-industri berorientasi ekspor dan padat karya
seperti tekstil dan pakaian jadi,makanan
dan minuman,barang-barang dari kulit dan barang-barang dari kayu.
Sewaktu krisis ekonomi global
2008-2009 terjadi,yang menjadi perhatian paling serius dari pemerintah-pemerintah
dinegara-negara yang terkena himbasnya,termasuk Indonesia adalah dampak dari
krisis tersebut terhadap kemiskinan dan ketimpangan pendampatan di dalam
masyarakat,terutama karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang pernah
dinikmati oleh banyak negara berkembang,khususnya di Asia pada era sebelum
krisis tersebut ditandai dengan ketimpangan pendapatan yang bertambah, dan oleh
sebab itu kemiskinan tetap bertahan,jika berkurang lajunya lambat di
negara-negara tersebut.
Waktu krisis ekonomi global
tersebut terjadi,pemerintah Indonesia bersama dengan Bank Dunia membuat tiga
skenario mengenai kemungkinan efek-efek
dari krisis ekonomi global tersebut terhadap kemiskinan di Indonesia. Pertama
,adalah skenario ‘tanpa krisis’,dimana laju pertumbuhan ekonomi Indonesia
diestimasi mencapai 6 persen rata-rata per tahun. Skenario kedua adalah krisis
ekonomi global yang mempengaruhi perekonomian Indonesia tanpa pemerintah
melakukan sesuatu yang khusus untuk mencegah atau mengurangi dampak
negatifnya,terutama terhadap kemiskinan . Sedangkan skenario ketiga adalah
dimana krisi 2008-2009 itu berdampak terhadap perkonomian Indonesia tetapi
pemerintah aktif melakukan sesuatu
seperti stimulus fiscal untuk memperkecil efek negatifnya. Estimasi –estimasi
mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan tiga skenario bisa memberi sebuah
kesan bahwa intervensi-intervensi pemerintah,terutama yang langsung ditunjukan
pada penanggulangan kemiskinan sangat penting,paling tidak untuk mencegah
tingkat kemiskinan tidak tambah tinggi akibat krisis tersebut.
Sumber :
Tambunan ,Tulus T.H.(2009a),Perekonomian
Indonesia,Jakarta:Ghalia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar