Senin, 08 April 2013

Kemiskinan


                Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Kosep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relative,sedangkan konsep yang mengukur tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute. Kemiskinan relatif adalah suatu ukran mengenai kesenjangan di dalam Distribusi yang dimaksud. Dinegara-negara  maju(NM),kemiskinana relatif diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata per kapita. Sebagai suatu ukuran relatif,kemiskinan relative dapat berbeda menurut  negara atau periode di dalam suatu  negara. Kemiskinan absolut adalah derajat dari kemiskinan di bawah mana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap(tidak berubah)di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non-makanan yang  sangat diperlukan untuk bertahan hidup.
                Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan (kesenjangan ekonomi) dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak Negara Berkembang,tidak terkecuali Indonesia. Dikatakan besar,jika dua masalah ini berlarut-larut dan dibiarkan semakin parah,pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan social yang sangat serius
                Data tahun 1970-an dan 1980-an mengenai prtumbuhan ekonomi dan Distribusi pendapatan dibanyak Negara Berkembang,terutama negara- negara  yang proses pembangunan ekonominya sangat pesat dan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi ,seperti Indonesia,menunjukan seakan-akan korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam Distribusi pendapatan :semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita,semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya.
                Namun, hasil studi dari Ahluwalia(1976) mengenai relasi antara Distribusi pendapatan dan proses pembangunan berdasarkan data dari 60 negara menunjukan bahwa suatu laju pertumbuhan yang tinggi tidak selalu harus mengakibatkan kepincangan dalam distribusi  pendapatan bertambah besar pada suatu tingkat pembangunan tertentu yang telah dicapai. Sebagai suatu perbandingan,hasil studi dari ADB di tahun 1980-an terhadap 10 negara di Asia,termasuk India,Republik China,Malaysia,Bangladesh,Republik Korea,Sri Langka dan Filipina,memperlihatkan bahwa kesejahteraan dari kelompok masyarakat termiskinan membaik hanya dinegara-negara yang laju pertumbuhan ekonominya sangat besar. Hasil studi ini memberi kesan bahwa memang ada efek ‘cucuran ke bawah’ dinegara-negara tersebut. Tetapi,hasil analisis ini dengan pendekatan lintas negara  (cross-section) tidak menunjukan adanya suatu relasi yang kuat antara tingkat pendapatan dan ketidak merataan dalam distribusi pendapatan.
                Misalnya, Jantti (1997) di dalam studinya membuat suatu kesimpulan bahwa semakin membesarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan dinegara-negara tersebut disebabkan oleh pergesaran-pergesaran demografi,perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan-kebijakan public. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya saham pendapatan dari istri di dalam total pendapatan keluarga merupakan dua factor penyebab penting.
                Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal dari proses pembangunan,tingkat kemiskinan cenderung meningkat,dan pada saat mendekati tahap akhir dari pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Tentu,seperti talah dikatakan sebelumnya,banyak faktor-faktor lain selain pertumbuhan pendapatan yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di suatu  wilayah /Negara seperti derjat pendidikan,tenaga kerja,dan struktur ekonomi.
                Ada suatu korelasi negatif antara tingkat pendapatan dan kemiskinan :semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita,maka semakin rendah tingkat kemiskinan ;atau  dengan kata lain,negara –negara dengan tingkat pendapatan negara per kapita yang lebih tinggi cenderung mempunyai tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan negara-negara yang tingkat pendapatan negara per kapitanya rendah. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa elastisitas pertumbuhan pendapatan dari kemiskinan untuk Asia Timur adalah yang tertinggi,disusul kemudian oleh Amerika Latin,Asia Selatan dan Afrika.
                Contohnya, pada pertumbuhan output disektor industry pengolahan mempunyai suatu dampak positif yang besar terhadap penurunan kemiskinan dan hanya terbukti di Asia Timur. Pertumbuhan output industiri 1 persen mengurangi kemiskinan 1,3 persen. Sebaliknya,prtumbuhan output industry di Amerika Latin dan Karibian berkorelasi positif dengan kemiskinan: semakin besar output disektor tersebut semakin banyak orang miskin;walaupun efek ini secara statistic tidak signifikan. Sama seperti di Asia Timur pertumbuhan output industi di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara juga mempunyai efek positif terhadap penurunan kemiskinan,tetapi efeknya tidak signifikan. Penggerak utama dari penurunan kemiskinan di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara adalah pertumbuhan output disektor pertanian.
                Dalam akhir 1990-an ,term ‘pertumbuhan yang pro-kemiskinan’(sebut PPG) ini menjadi terkenal saat banyak ekonomi mulai menganalisis paket-paket kebijakan yanga dapat mencapai penurunan kemiskinan yang lebih cepat lewat pertumbuhan ekonomi dan perubahan Distribusi pendapatan. PPG secara umum didefinikasi sebagai pertumbuhan ekonomi yang membuat penurunan kemiskinan secara signifikan. Dalam usaha memberikan relevansi analisis dan operasional terhadap konsep tersebut,di dalam literature muncul dua pendekatan. Pendekatan pertama memfokuskan pada keyakinan bahwa orang-orang miskin pasti mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi walaupun tidak proposional. Artinya, pertumbuhan ekonomi memihak kepada orang miskin jika dibarengin dengan suatu pengurangan kesenjangan;atau dengan kata lain,pangsa pendapatan dari kelompok miskin meningkatan bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi. Pendekatan ini disebut juga definisi relatif dari PPG.
                Selama periode 2005-2006,jumlah orang miskin di Indonesia tercatat bertambah sebanyak 4,2 juta orang. Baru setelah beberapa penyesuain kebijakan dan stabilisasi ekonomi makro,tingkat kemiskinan mulai menurun lagi sejak tahun 2007. Dalam bentuk relatif,tingkat kemiskinan pada tahun 2007 sama seperti sebelum krisis 1997-1998 terjadi. Namun demikian,dalam bentuk absolut,jumlah orang yang berpengeluaran rata-rata per hari di bawah garis kemiskinan yang berlaku tetap lebih tinggi dibandingkan pada era Orde Baru sebelum krisi 1997-1998. Waluapun perbedaan antarawilayah bervariasi menurut tahun,tingkat kemiskinan di daerah perkotaan juga selalu lebih kecil dibandingkan di daerah perdesaan dan terus berlangsung pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan data terakhir,pada bulan Maret 2010,persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan yang berlaku pada tingkat nasional adalah sekitar 13 persen.
                Selain tingkat kemiskinan,ada dua hal yang jugaa harus diperhatikan dalam membahas soal kemiskinan dan keparahan kemiskinan. Kedalaman kemiskinan menunjukan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin,sedangkan keparahan kemiskinan menujukan ketimpangan pengeluaran dari penduduk paling miskin,atau yang makin jatuh di bawah garis kemiskinan yang berlaku. Semakin besar nilai kedua indeks ini di sebuah negara  mencerminkan semakin seriusnya persoalan kemiskinan dinegara tersebut. Dari sisi lain,dapat disimpulkan bahwa kondisi kemiskinan di desa masih lebih buruk dibandingkan di kota. Sedangkan secara umum,penurunan dari kedua indeks tersebut di kota maupun di desa mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.
                Dan biasanya kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap kemiskinan adalah para pekerja pabrik dan rumah tangga yang beberapa tahun belakangan ini kondisi ekonomi mereka membaik akibat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan yang menciptakan kesempatan kerja lebih besar dan lebih baik (dari sisi pendapatan),namun mereka berada persis diatas garis kemiskinan yang berlaku. Kondisi seperti ini membuat mereka sangat terancam kembali menjadi miskin apabila ada sebuah krisis ekonomi seperti pada tahun 2008-2009. Kelompok pekerja yang masuk di dalam kategori ini adalah pekerja-pekerja tidak berpendidikan tinggi seperti pekerja-pekerja kontrak atau borongan di industri-industri berorientasi ekspor dan padat karya seperti  tekstil dan pakaian jadi,makanan dan minuman,barang-barang dari kulit dan barang-barang dari kayu.
                Sewaktu krisis ekonomi global 2008-2009 terjadi,yang menjadi perhatian paling serius dari pemerintah-pemerintah dinegara-negara yang terkena himbasnya,termasuk Indonesia adalah dampak dari krisis tersebut terhadap kemiskinan dan ketimpangan pendampatan di dalam masyarakat,terutama karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang pernah dinikmati oleh banyak negara berkembang,khususnya di Asia pada era sebelum krisis tersebut ditandai dengan ketimpangan pendapatan yang bertambah, dan oleh sebab itu kemiskinan tetap bertahan,jika berkurang lajunya lambat di negara-negara tersebut.
                Waktu krisis ekonomi global tersebut terjadi,pemerintah Indonesia bersama dengan Bank Dunia membuat tiga skenario  mengenai kemungkinan efek-efek dari krisis ekonomi global tersebut terhadap kemiskinan di Indonesia. Pertama ,adalah skenario ‘tanpa krisis’,dimana laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diestimasi mencapai 6 persen rata-rata per tahun. Skenario kedua adalah krisis ekonomi global yang mempengaruhi perekonomian Indonesia tanpa pemerintah melakukan sesuatu yang khusus untuk mencegah atau mengurangi dampak negatifnya,terutama terhadap kemiskinan . Sedangkan skenario ketiga adalah dimana krisi 2008-2009 itu berdampak terhadap perkonomian Indonesia tetapi pemerintah  aktif melakukan sesuatu seperti stimulus fiscal untuk memperkecil efek negatifnya. Estimasi –estimasi mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan tiga skenario bisa memberi sebuah kesan bahwa intervensi-intervensi pemerintah,terutama yang langsung ditunjukan pada penanggulangan kemiskinan sangat penting,paling tidak untuk mencegah tingkat kemiskinan tidak tambah tinggi akibat krisis tersebut.

Sumber :
Tambunan ,Tulus T.H.(2009a),Perekonomian Indonesia,Jakarta:Ghalia Indonesia      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar